HUMOR yang berada di blog ini bisa karangan asli, bisa juga palsu (maksudnya bukan hasil karangan penulis blog ini.) Mudah-mudahan humor ini bisa menghibur kita semua. Silakan tertawa kalau lucu. Kalau gak lucu tertawa juga. Ketawa aja lah biar sehat! Apa susahnya ketawa. Gratis ini! Tapi jangan mentang-mentang pengen sehat, nt ketawa kendiri-kendiri. Itu mah bukan sehat, tapi … kurang sesetrip alias otak miring. Hehe.Sengaja bahasanya campur aduk agar komunikatif n bertambah wawasan. Andaikan ada bahasa Sunda gak tahu maksudnya, boleh kontek n boleh privat di alamat e-mailku: sahman26@yahoo.com

PENGALAMANKU

1. Kuping jadi Korban Gara-gara Gulungan Kertas

Pengalaman ini ketika aku di SMP. Kelas gak ada guru. Karena murid pengen pulang cepat, maka minta tugas kepada guru yang ngajar belakangan. Singkat cerita, kami kelas 3 C mencatat pelajaran bahasa Indonesia. Tentunya yang menulis di papan tulis murid bergiliran. Kadang aku juga kena giliran karena tulisanku agak rapi. sombong ni, ye.. . Kalau murid tanpa guru pasti berisik walau ada tugas. Ada guru pun berisik juga. Soalnya guru pun kalau rapat atau penataran berisik juga. Eh maaf menyinggung guru.
Di kelas ada yang lempar kapur, lempar kertas, aku pun asyik baca cerita, gak nyatet, maleees! Kelas berisik kali. Masabodoh berisik! Aku gak larang mereka karena aku bukan pengurus kelas. Tiba-tiba, “tuk!” kertas kena batang hidungku. Untung hidungku mancung, jadi gak ngaruh jadi pesek. Aku kesal kali. Kuambil gulungan kertas itu. Aku lari ke depan kelas mendekati jendela melompong, maksudnya yang belum dipasang kaca. Kacanya masih di toko Suhin. Kulemparkan kertas itu sekuat tenaga. Aku puas!!! Aku duduk kembali, baca lagi. Tak lama kemudian,…
“Siapa yang melempar kertas tadi?” tanya Bapak Direktur (sebutan Kepala Sekolah SMP pada waktu aku sekolah). Aku angkat tangan (ngacung). Aku dipanggil dan dimarahi karena buang sampah sembarangan. MUKAku terasa panas
“Hampir kena muka Bapak tadi. Ambil kertas itu! Buang!” kata Beliau nyaring bagaikan petir di kupingku.
Aku gak jawab, kuambil gulungan kertas itu. Ketika mengambil kertas itu, kupingku yang kanan dipelintir. Gak sakit,siiih! Cuman, ehm malunya berbulan-bulan. Maaf, ya, Pak Direktur Ruhyat Saputra. Tolong, ya, teman-teman sampaikan salamku kepada Beliau jika masih hidup. Kalau sudah meninggal, doakan Beliau rame-rame. Kudoakan agar Bapak bertemu denganku di Surga. Amin!  Tapi jangan jewer kupingku lagi, ya. hiiiii hihi…..

 

2. ENAK,GAK, KUEKU?!
Pengalamanku yang sampai saat ini masih ingat adalah dijaili eman. Aku kadang rajin menyabit rumput buat pakan dombaku. Eh, maaf domba ortuku. Sebenarnya kau malas nyabit rumput itu apalagi musim kemarau. Males kali. Panas n rumputnya juga langka. Temanku, yang sekarang udah jadi Kang Haji, rajin dia mah. Aku berteduh di saung, dia pergi menyabit. Dia gak kelihatan di mana nyabitnya. Aku mah asyik di saung sendirian. Kadang aku menguap, ngantuaak! Tiba-tiba dia muncul membawa kue geplak. Orang Sunda bilang “gegeplak” terbungkus rapi layaknya kue geplak orang Sunda. “Niiih, mau. Lur?!” Kang Haji nanya aku dengan panggilan “Lur”. Singkatan dari “dulur” (saudara). “kebetulan. kata hatiku.” Aku ambil aja, kubuka bungkusnya,”kruik-kruik!” kugigit. Wow! Kue geplaknya gak ada rasa apa-apa. “Hahahaa” kang Haji ketawa ampe gelibanget. Aku sadar telah dibohongin. ternyata, kue geplak itu terbuat dari tanah wadas. Untunglah tanah wadasnya empuk. Orang Sunda bilang “hampo” dimakan gak berbahaya. Kalau orang Sunda biasa makan hampo itu buat obat penawar di perut. Bukan doyan. Orang Sunda kan gak ada yang kelaparan karena tanahnya subur. Paling-paling cuma “rawan pangan” doang. (cerita lucu masih banyak. jangan bosan buka blog ini, ya!)

 3. Gara-gara Minyak Tanah, Aku Jadi Monyet!!!

 Antrean bukan antrian warga JAKARTA (sebagian) yang mau repot antre minyak tanah, mengingatkanku ketika tahun enam puluhan (tahun enam puluhan itu maksudnya, tahun 1960 sampai 1969 bukan tahun 60, gw karo lu lon lahir) – dari kampungku ke warung minyak tanah itu diperkirakan (gw gak pake lebih kurang atau kurang lebih) lima kilometer atau ditempuh dengan tiga puluh menit jalan kaki orang kampung ketika itu. Kembali ke minyak tanah. Karena ketika  aku pergi  ngaji melewati warung minyak tanah, emaku nyuruh beli minyak “sialan” itu sambil pergi/pulang ngaji. Aku bawa botol. Minyak tanah itu buat lampu teplok atau lampu tempel, kadang juga buat damar atau cempor. Kalau nyari belut, pake oncor atau colen. Orang kaya biasanya pake petromak. Kegiatan ngaji gak usah kuceritakan dulu,nanti ada masanya. Singkat cerita, aku n teman-temanku sepengajian beli minyak tanah sepulang ngaji, pagi-pagi. Semua toko, termasuk toko Babah Ngelok karena tokonya ngelok, jauh ke jalan abis juga. Biasanya di toko itu apa aja ada. Aku seneng belanja di Babah Ngelok itu. Pelayannya ramah-ramah n gadis Babah itu cantik. Kalau kita bayar, dia bilang “hatur nuhun” dalam hatinya mungkin “kamsia”. Fasih kali bahasa Sundanya. Aku yang tulen aja orang Sunda pemangsa lalap n belut berbahasa sendiri aja belekak-belekuk. Singkat kata, (karena panjang katanya sudah), aku n teman-teman ke toko yang terakhir “Toko E”. Di sini juga abis. Tapi aku penasaran, aku nakal, kubuka cara manual tutup tong atau  drem minyak tanah itu. “Pak, inih minyak  masih ada!” kataku sambil menoleh pelayannya. Dia membentakku, “Monyet!!!” Aku gak jawab. Dalam hatiku, “Masih mending jadi monyet gak ngebohongi sesama makhluk. Andaikan Aku dilaporin ke polisi, mungkin aku dibui atau mungkin juga aku menjadi pahlawan karena sudah membongkar sindikat penimbun minyak. Maksudnya “penyimpan”     karena minyak tanah itu kagak ditimbun. Andaikan aku yang menang hasil sidang itu, pasti aku akan dijuluki oleh masyarakat sebagai seorang  pahlawan, yaitu “Pahlawan MONYET dari NEGLASARI”

4. Wingko Babat

Pengalaman ini ketika aku mengajar di SMA swasta petang. Aku setiap ari bawa bekal. Bekal dari jam tujuh, dimakan jam satu siang. Tapi begitulah keadaanku. Sebab kalau makan di warung depan sekolah SMA, honor gak mencukupi. Jadi “besar pasak daripada tiang”. Ngajar per minggu 3 jam, honor per jam per bulan lima ribu rupiah. Ngajar rata-rata 12 jam per bulan. Jadi honor per jamnya lima belas ribu dibagi dua belas. Ya, lumayanlah, per jamnya terbayar seribu dua ratus lima puluh rupiah. Memang, honor guru dari dulu sampai sekarang tetap aja paling rendah. Tapi, tak apalah, asal dinyanyiin “hymne guru” juga bapak/ibu guru tersanjung. Pret!!!!

Oh,ya, sorry. Ane mau cerite perihal wingko babat sesuai judul di atas. Begini, dari sekolah pagi,sbuah SD negeri ane meluncur dengan speda montor honda 90 astra merah tahun 68, yang aku juluki “si dukun” langsung ke tempat fotokopi samping SMA-ku. Kufotokopi lembar soal sebanyak murid dengan uang sendiri (sekolah gak ganti fotokopian). Sambil menunggu fotokopi selesai, ane lihat-lihat etalase. Wiiih… mata ane tertuju ke wingko babat. Air liurku terbit, pertanda pengen makan wingko babat. Asyiik… aku beli dua. Harganya seribu rupiah. Setelah ane bayar ongkos fotokopi n lauk nasi wingko babat, ane mau makan dengan nikmaaat….

Dut-dut-dut, bret…! si dukun batuk sambil menuju ke SMA. ternyata ane paling dulu hadir. Ane duduk di kursi kantor guru, ane buka bekal yang dari pagi diemplep di tas. Eeh…. sriwing bau nasi yang sudah adem. Ane buka bungkus wingko babat. Asyiik… enak… makan sama wingko babat. Ane gigit tuh wingko babat yang bentuknya bundar. Haah! rasanye kok.. maniis! Kok babat gini? Ane ketawa kendiri. Mau ketawa rame-rame gak ada sohib. Yaah, nasiiib! Mau nikmat makan ame babat,  tahunye ini mah babat kue kudapan. Eiit dah! Bloon amat gw!

Ane kire wingko babat itu babat yang diawetkan. Eh tahunye terbuat dari beras ketan. Ini kejadian betul-betul sangat berkesan ampe sekarang. Kalau lihat wingko babat, ane suka terbayang kantor guru SMA. Ane usul, tolong ganti nama kue itu! jangan “wingko babat” ganti aja menjadi “wig engko babet”. (kejadian itu tahun 1985 di SMA I Cawang Baru, Jakarta Timur. Kalau ada muridku dulu yang masih inget ame pak Sahman Sabirin, kontek di alamat email : sahman26@yahoo.com muridku yang masih kuingat ampe karang ialah Neneng Asmani. Titip salam, ya, Neng buat temen-temen)   

Baca entri selengkapnya »

Pantun Nasihat

Satu dua tiga dan empat

lima enam tujuh delapan

Tuntutlah ilmu sampai dapat

jangan sampai putus harapan,

Satu dua tiga dan empat

lima enam tujuh delapan

Kalau ilmu sudah didapat

kita harus semakin sopan

Satu dua tiga dan empat

dijumlahkan jagi sepuluh

Walau ilmu sudah didapat

tetapi kita jangan angkuh,

Satu dua tiga dan empat

dijumlahkan jadi sepuluh

Walau ilmu sudah didapat

tetap belajar sungguh-sungguh

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!